Hakim Pk 7 Terpidana Kasus Vina

SURYA.co.id - Jutek Bongso yakin 7 terpidana kasus Vina Cirebon akan segera bebas bulan Desember 2024.

Hal ini sesuai dengan deadline atau jatuh tempo penanganan perkara peninjauan kembali di Mahkamah Agung (MA) yang memakan waktu 90 hari.

"Putusan PK harusnya  Desember sudah keluar, karena 90 hari PK, jatuh tempo pada Desember ini," kata Jutek dikutip dari tayangan youtube Jutek Bongso Pasopati Lawfirm pada Selasa (10/12/2024).

Dia berharap hasil PK ini bisa memberikan keadilan bagi Sudirman dan teman-temannya.

"Kita sangat bersimpati pada Sudirman, mudah-mudahan tidak lama lagi Sudirman bisa keluar lapas, tanpa tangan diborgol, tanpa harus dikawal, tanpa harus diawasi. Saya yakin kebebasan masih berpihak pada Sudirman. Sabar, waktunya akan segera tiba," kata Jutek.

Baca juga: Diam-diam Bareskrim Periksa Saksi Baru Kasus Vina Cirebon, Berimbas Nasib Iptu Rudiana dan Terpidana

Jutek mengaku kecewa dengan perlakuan institusi penegak hukum terhadap Sudirman, saat terpidana kasus Vina Cirebon ini kehilangan sang ibunda, Sairoh yang meninggal dunia pada Kamis malam (5/12/2024) di Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, Cirebon.

Tim kuasa hukum mengusahakan agar Sudirman bisa pulang untuk mengantar sang ibunda ke peristirahatan terakhir.

Izin itu pun disetujui, hingga akhirnya Sudirman bisa menghadiri pemakaman sang ibu.

Namun yang bikin kecewa kuasa hukumnya, Sudirman hanya diizinkan pulang selama satu jam.

Baca juga: Polisi Bersenjata Laras Panjang di Pemakaman Ibu Sudirman Terpidana Kasus Vina Cirebon Jadi Sorotan

Itu pun  diborgol dengan dikawal ketat polisi bersenjata laras panjang mulai dari rumah hingga pemakaman.

Jutek Bongso, kuasa hukum Sudirman mengatakan, sebenarnya pihaknya memohon agar Sudirman diberi kesempatan pulang ke rumah satu hari untuk menemani ayahnya.

Untuk ini, pihaknya sudah mendapat rekomendasi dari Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan.

Namun kenyataannya, Sudirman hanya diberi izin satu hari, itu pun dikawal ketat petugas.

"Kami kecewa. Bapak wamenko hukum, HAM dan imigrasi pemasyarakatan, sudah membantu di depan saya, bersama bapak Dedi Mulyadi. Kami sudah berusaha untuk mengupayakan yang terbaik," kata Jutek.

TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum terpidana kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita alias Vina Cirebon dan Muhamad Rizky Rudiana alias Eky, Jutek Bongso dipanggil oleh tim penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada hari ini. Pengacara dari Perhimpunan Advokat Nusantara (Peradi) itu menjalani pemeriksaan atas laporannya terhadap ayah Eky, Rudiana, pada 17 Juli 2024.

“Di mana gelar awal untuk mencocokkan data, laporan bukti awal atas laporan kami,” kata Jutek kepada awak media saat ditemui di Bareskrim Mabes Polri, Selasa sore, 30 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jutek mengatakan, laporan tim Peradi terhadap Rudiana sudah masuk ke dalam tahap penyelidikan. Bareskrim Polri juga sudah melakukan pemeriksaan untuk mengungkap berbagai kejanggalan di kasus Vina Cirebon. “Semuanya sangat transparan,” ujarnya.

Pada saat ini Jutek bersama tim Peradi terus memperjuangkan keadilan bagi 7 terpidana yang mendapat hukuman penjara seumur hidup. Mereka akan berusaha membuktikan ada atau tidaknya pembunuhan itu delapan tahun silam. “Mudah-mudahan ini menjadi awal yang baik,” tutur tim Peradi itu.

Sebelumnya, Kasana, orang tua salah satu terpidana pembunuhan Vina dan Eky meyakini putranya tidak bersalah. Atas dasar keyakinan itu, pria 54 tahun tersebut melaporkan Rudiana, ayah Eky ke Bareskrim Polri. Ia menganggap Rudiana paling bertanggung jawab karena pada 31 Agustus 2016, anggota Polres Cirebon itu yang menangkap dan menahan anaknya, Hadi Saputra.

Kasana datang ke Bareskrim Mabes Polri pada 17 Juli 2024 didampingi oleh tim Perhimpunan Advokat Nusantara (Peradi). “Saya yakin anak saya bukan pembunuh,” ujarnya kepada awak media di Bareskrim Polri.

Menurut Kasana, berdasarkan kesaksian beberapa tetangga, pada malam kejadian, Hadi berada di rumah Pak RT Abdul Pasren. Kasana ingin keadilan juga berpihak kepada sang anak yang divonis hukuman penjara seumur hidup.

Laporan Kasana tercatat dengan nomor LP/B/235/VII/2024/SPKT/Bareskrim Polri. Kuasa hukumnya, Jutek Bongso, mengatakan pelaporan ini untuk mencari kebenaran tentang kejadian yang dialami oleh 7 terpidana dalam kasus Vina Cirebon. “Apakah betul atau tidak (kejaidan itu),” katanya di Bareskrim Mabes Polri.Pilihan Editor: Profil Alwin Basri, Suami Wali Kota Semarang yang Terima SPDP Sebagai Tersangka

Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

TEMPO.CO, Jakarta - Belum selesai dengan urusan kasus pembunuhan Brigadir J yang menyeret nama eks Kadiv Propam Ferdy Sambo, Polri kini harus berurusan dengan kasus Irjen Pol Teddy Minahasa terkait peredaran narkoba.

Kabar ini disampaikan langsung oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo. “Atas dasar hal tersebut (pengembangan penyelidikan kasus peredaran narkoba), saya minta tadi pagi Kadiv Propam untuk menjemput dan memeriksa Irjen TM" kata Listyo dalam keterangan resminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apabila merujuk peraturan perundang-undangan, Irjen Pol Teddy Minahasa dapat dijerat dengan hukuman mati berdasarkan Pasal 114 Ayat 2, subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1, juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Namun, sampai saat ini, sejarah Indonesia belum pernah memberikan hukuman mati kepada perwira tinggi Polri. Kendati demikian, beberapa pengedar narkoba pernah dijatuhi hukuman mati, sebagai berikut.

Tempo mencatat bahwa Raheem merupakan salah satu narapidana Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan yang dieksekusi mati pada 2015 silam. Ia merupakan Warga Negara Nigeria bertinggal di Indonesia yang tertangkap basah memiliki 5 kilogram heroin. Permintaan terakhir Raheem adalah dimakamkan di Madiun, Jawa Timur dan organ tubuhnya agar dinorkan.

Di antara narapidana narkoba, nama Mary Jane tampaknya cukup populer bagi masyarakat Indonesia. Jane diketahui merupakan warga negara Filipina yang ditangkap kepolisian di Bandara Adi Sutjipto pada 2010 silam. Tempo mencatat bahwa ia terbukti menyelundupkan heroin seberat 2,6 kilogram.

3. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran

Kasus narkoba dua orang ini dikenal dengan nama Bali Nine, yaitu penyelundupan 8,3 kilogram heroin keluar dari Indonesia oleh sembilan warga negara Australia. Berdasarkan hasil persidangan, Chan dan Sukumaran akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 29 April 2015.

Bersama dengan sejumlah narapidana narkoba di Nusakambangan, Gularte dieksekusi mati pada 2015 lalu. Dikutip dari Tempo, Gularte merupakan warga negara Brazil yang kedapatan menyelundupkan 19 kilogram kokain di papan selancarnya.

Selain nama-nama terpidana mati di Nusakambangan, salah satu gembong narkoba terbesar di Indonesia yang dieksekusi mati adalah Freddy Budiman. Pasalnya, meskipun sempat tertangkap basah, Budiman tidak jera dan mengulangi kembali perbuatannya.

Dikutip dari Tempo, pada 1997, Freddy sudah terlibat dalam kasus narkoba pertamanya sehingga dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kemudian, pada 2009, Freddy kembali kedapatan menyimpan 500 gram sabu-sabu sehingga divonis 3 Tahun 4 Bulan penjara.

Seakan tak jera, pada 2013, Freddy Budiman justru diketahui mengedarkan narkoba dan membuat pabrik sabu dari dalam lapas. Alhasil, ia dieksekusi mati di Nusakambangan, Jawa Tengah pada 29 Juli 2016.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

DELAPAN tahun sudah berlalu, kasus Vina Cirebon belum juga tuntas. Kasus “terlupakan” itu baru bikin heboh setelah dibuatkan film Vina: Sebelum 7 Hari. Lika-liku pengusutan kembali kasusnya menyajikan pada publik soal amburadulnya penegakan hukum, mulai dari salah tangkap Pegi Setiawan hingga rencana para terpidananya untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Kasus yang merenggut nyawa sejoli remaja Vina Dewi Arista (Vina) dan Rizky Rudiana (Eky) pada 27 Agustus 2016 tersebut mulanya melahirkan delapan terdakwa. Tujuh terdakwa lantas divonis hukuman penjara seumur hidup dan satu terpidana yang saat disidang masih di bawah umur, Saka Tatal, divonis delapan tahun penjara meskipun kini sudah menghirup udara bebas.

Secara tidak langsung, sidang praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 8 Juli 2024 yang membuatnya terbebas dari status tersangka pelaku pembunuhan Vina, membuka harapan bagi delapan lainnya. Melalui kuasa hukum masing-masing, Saka Tatal dan tujuh terpidana lain yang merasa bukan pelaku berniat mengajukan PK.

Kasus Vina pun mengingatkan wartawan senior Karni Ilyas akan kasus serupa. Pada 1970-an, terjadi suatu peradilan sesat yang akhirnya memenjarakan dua petani, Sengkon dan Karta.

“Tiba-tiba tahun 1980 ada terpidana kasus lain, Gunel yang juga dipenjara di (Lapas) Cipinang. Dia menceritakan kepada Sengkon dan Karta bahwa sebenarnya dialah yang membunuh H. Sulaiman. Cerita ini saya bawa ke Ketua MA (Mahkamah Agung) Pak Mudjono dan dia kaget dan kemudian datang ke Cipinang,” kenang Karni saat membuka gelar wicara “Kasus Vina & Eky: Penegakan Hukum Amburadul? Dede Mengakui Kesaksiannya Palsu!” di akun Youtube Indonesia Lawyers Club, Kamis (25/7/2024).

Kasus Sengkon-Karta menghidupkan kembali herziening atau lembaga Peninjauan Kembali. Berkat PK itulah Sengkon dan Karta yang tidak bersalah akhirnya bebas dari penjara.

“Lembaga (herziening) itu sudah dipingsankan oleh Ketua MA sebelumnya, Prof. Soebekti (1968-1974) dan Pak Mudjono menghidupkan kembali lembaga itu yang belakangan diubah namanya menjadi lembaga Peninjauan Kembali. Saat itu (kasus Sengkon dan Karta) saya bilang sebagai peradilan sesat dan apakah yang sekarang (kasus Vina) ini sesat lagi? Inilah yang akan diuji di Peninjauan Kembali oleh para terpidana yang dimulai oleh Saka Tatal,” lanjutnya.

Timbul Tenggelam Herziening

Mekanisme herziening sudah diperkenalkan dalam hukum acara pidana sejak era kolonial. Dalam Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan, Binziad Kadafi, pakar hukum dan akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STHI) Jentera, menyebut, pada 1847 pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Herziening van Arresten en Vonnissen dalam Reglement op de Strafvordering atau hukum pidana dan pada 1849 dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering atau hukum perdata.

“Konsep yang sebanding dengan request-civiel dalam bahasa Indonesia Rekes Sipil atau ‘permintaan untuk mengulangi pemeriksaan perkara berdasarkan alasan-alasan luar biasa.’ Akan tetapi kedua hukum acara tersebut hanya berlaku pada pengadilan bagi golongan Eropa (Raad van Justitie) dan bukan pengadilan bagi masyarakat bumiputera (Landraad),” tulis Binziad.

Setelah Indonesia merdeka, persoalan PK baru diatur dalam Pasal 15 di Undang-Undang (UU) No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perihal PK ditegaskan lagi dalam UU No. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Selanjutnya, segala detail prosedur PK diuraikan dalam berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang dikeluarkan oleh MA.

“Tapi perkembangan selanjutnya adalah pencabutan secara formal Perma 1/1969 dan SEMA 18/1969 oleh Ketua MA Soebekti melalui Perma 1/1971. Pertimbangan utamanya, mengatur PK melalui Perma merupakan kekeliruan dan bertentangan dengan UU 14/1970 yang memandatkan PK untuk diatur dalam UU khusus,” lanjutnya.

Ketua MA berikutnya, Oemar Seno Adji, menerbitkan Perma 1/1976 tentang Pencabutan Perma 1/1971 yang sepenuhnya mencabut seluruh peraturan dan pedoman yang diterbitkan MA terkait PK. Dasar pencabutannya adalah PK belum diatur dalam UU. Rekes sipil tidak lagi dikenal dalam hukum acara. Akibatnya PK terhadap putusan perdata atau pidana yang berkekuatan hukum tetap tidak lagi dimungkinkan.

“Kekosongan hukum mengenai PK menimbulkan masalah baru, mengingat UU 14/1970 menyatakan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Begitu halnya sejak 1976 para pengambil kebijakan meremehkan pentingnya PK,” tambah Binziad.

PK baru dihidupkan kembali di masa transisi Ketua MA Omar Seno Adji seiring kemunculan kasus Sengkon-Karta diuraikan. Kontroversinya berawal dari kasus perampokan terhadap korban, H. Sulaiman dan Siti Haya, pasutri pedagang di Bojongsari, Kabupaten Bekasi, medio November 1974.

Menurut Tim Lindsey dalam artikel “Reconsidering Reform: The Supreme Court and Indonesia’s Extraordinary Legal Measure” yang termaktub dalam buku Crime and Punishment in Indonesia, Sengkon-Karta, dua petani setempat yang oleh masyarakat juga beberapa kali jadi preman, dijadikan tersangka oleh kepolisian yang menyelidiki kasusnya. Nama Sengkon dan Karta rupanya dibisikkan salah satu korban, H. Sulaiman, kepada seorang saksi yang melarikan korban ke rumahsakit terdekat kendati nyawa kedua korban tak tertolong.

“Sebuah sendal yang ditengarai milik Sengkon juga ditemukan dekat tempat kejadian perkara (TKP). Dalam penahanan, Sengkon dan Karta dipukuli polisi dan mereka dipaksa mengaku,” tulis Lindsey.

Sengkon-Karta akhirnya diajukan ke muka sidang di PN Bekasi, medio Oktober 1977. Segala bantahan Sengkon-Karta ditolak ketua majelis hakim Djurnetty Soetrisno, kendati terdapat tiga saksi yang menguatkan pembelaan kedua terdakwa. Tiga saksi itu menyatakan pada saat kejadian, Karta sedang terbaring sakit.

Kendati begitu, hakim menolak pembelaan tersebut. Dengan memprioritaskan versi kepolisian, vonis pun dijatuhkan. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta dihukum tujuh tahun penjara.

Upaya Sengkon untuk banding ditolak. Sedangkan Karta memilih menerima vonisnya hingga putusan terhadap Sengkon-Karta sudah inkrah.

Tiga tahun lamanya Sengkon-Karta mesti mendekam di Lapas Cipinang sebelum akhirnya datang secercah harapan untuk keadilan. Tetiba pada 1980 kedua terpidana itu bersua pelaku yang sebenarnya di balik jeruji besi.

“Sewaktu Sengkon sedang sekarat di LP Cipinang, seorang narapidana bernama Gunel merasa iba. Dengan jujur dan merasa berdosa ia minta maaf kepada Sengkon yang harus mendekam di penjara karena perbuatan yang tidak dilakukannya. Gunel kemudian mengaku bahwa ia bersama teman-temannya telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, bukan Sengkon dan Karta. Pengakuan Gunel itu akhirnya diketahui media massa,” tulis advokat Bachtiar Sitanggang dalam kolom hukum di majalah Mimbar Kekaryaan ABRI edisi Maret 1997, “Hakikat Peninjauan Kembali Atas Suatu Perkara Pidana”.

Tak ayal kasus itu pun viral lagi di masanya hingga menarik perhatian Kejaksaan Agung, MA, maupun DPR. Advokat cum anggota DPR Albert Hasibuan “turun gunung” untuk memperjuangkan nasib Sengkon-Karta. Gunel sendiri disidang pada Oktober 1980 lalu divonis 12 tahun penjara.

“Waktu itu para petinggi hukum dan para pelaksana di lapangan sigap. DPR juga ikut campur tangan. Media massa berpartisipasi aktif. Akhirnya Kejaksaan Agung juga mengajukan Penangguhan Pelaksanaan Menjalani Hukuman bagi Sengkon dan Karta,” lanjut Bachtiar.

Karena tak mungkin korban pasutri Sulaiman-Siti Haya “dibunuh dua kali”, mengingat Gunel sendiri sudah divonis, maka mekanisme herziening alias PK yang sempat mati suri, dihidupkan kembali. Ketua MA Oemar Seno Adji sendiri pun menerbitkan Perma 1/1980 dengan mengacu pada Pasal 21 UU No.14/1970 sebagai tindakan sementara untuk kasus Sengkon-Karta.

“Setelah terbitnya Perma 1/1980, perkara Sengkon dan Karta diperintahkan untuk diperiksa ulang,” sambung Binziad.

Dalam pemeriksaan ulang, Sengkon-Karta dinyatakan tidak bersalah. Pada 4 November 1980, keduanya dinyatakan bebas, meski secara fisik Sengkon-Karta sudah dibebaskan lebih dulu pada 3 November dengan alasan Sengkon harus dirawat intensif di rumahsakit akibat penyakit TBC.

Kendati demikian, Sengkon-Karta tetap harus hidup dalam kemiskinan. Mengutip buku Lembaran Hitam Pengadilan di Aceh: Kasus Pembunuhan, keluarga Sengkon-Karta harus kehilangan harta benda berupa rumah dan tanah untuk mengongkosi upaya hukum mereka. Gugatan ganti rugi sebesar Rp100 juta kepada pemerintah ditolak MA.

Terlepas dari kasus Sengkon-Karta, perihal PK kembali jadi pembahasan di antara para pengambil kebijakan, mengingat Perma 1/1980 itu bersifat tindakan sementara. Baru pada 1985, PK melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan dasar hukumnya Pasal 76 UU 14/1985. Adapun dasar diajukannya PK adalah Pasal 263 ayat 2 KUHAP.

Jumat, 24 Mei 2024 – 08:43 WIB

"Mungkin dari sini bisa dimulai penyelidikan baru; apakah tanda tangan itu palsu. Lalu terjadi salah tangkap. Mudah sekali pembuktiannya di zaman modern ini," ujar Dahlan.

Hukuman seumur hidup untuk 7 remaja itu --sekarang mereka sudah pemuda sekitar 27 tahun-- sudah punya kekuatan hukum yang pasti.

Sementara, "Si 15 tahun" yang merasa salah tangkap itu sudah naik banding tetapi ditolak. Kasasinya pun ditolak.

Akan tetapi masih ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Titin Prialianti, pengacaranya, harus dilakukan itu. Apa pun hasilnya.

"Jelas perlu ajukan PK," demikian Dahlan mengutip pendapat Karni Ilyas.

Dahlan menghubungi Karni, kemarin. Karni adalah wartawan yang menjadi pemicu lahirnya PK. Yakni setelah dia membongkar salah tangkap pada kasus Sengkon dan Karta pada 1997.

Tentu cerita film tidak harus dipercaya. Film adalah fiksi. "Memang fiksi terbaik adalah kalau memasukkan fakta-fakta nyata ke dalamnya. Dari segi itu film ini menjadi fiksi yang berhasil."

"Itu yang mungkin akan dikatakan Prof Salim Said bila mengulasnya," ujar Dahlan.(disway/jpnn.com)